Sombano, 20 Juni 2025— Kegiatan Forum Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan di Desa Sombano menjadi momen penting untuk memaparkan hasil monitoring terhadap tiga ekosistem laut yang krusial, yaitu lamun, mangrove, dan terumbu karang. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan masyarakat adat, pemerintah kecamatan, pemerintah desa, serta masyarakat Desa Sombano yang antusias mengikuti jalannya diskusi.
Dalam forum tersebut, Arman selaku koordinator tim monitoring memimpin pemaparan data hasil pengamatan lapangan yang dilakukan oleh LMMA bersama masyarakat pada Oktober 2024. Monitoring ini menggunakan pendekatan ilmiah yang melibatkan partisipasi warga lokal, dengan metode Seagrass Watch dan Coremap CTI untuk lamun, MonMang 2.0 untuk mangrove, dan Manta Tow untuk terumbu karang.
Lamun dikenal sebagai habitat penting bagi biota laut dan berperan besar dalam menyimpan karbon biru. Dari hasil pemantauan di sejumlah stasiun pengamatan pesisir Sombano, ditemukan sembilan jenis lamun, dengan Enhalus acoroides sebagai jenis yang paling mendominasi. Salah satu lokasi, yaitu Stasiun 4, memiliki tutupan lamun terpadat dibanding lokasi lainnya, sementara Stasiun 6 mencatatkan nilai indeks kesehatan lamun tertinggi. Selain itu, ekosistem lamun ini juga dihuni oleh kelompok invertebrata seperti polifera dalam jumlah yang cukup banyak, yang menandakan bahwa habitat tersebut masih mendukung keanekaragaman hayati.
Untuk ekosistem mangrove, tercatat ada 23 spesies yang berhasil diidentifikasi, dengan rata-rata nilai indeks kesehatan mencapai 65,34 persen. Angka ini menempatkan mangrove Sombano dalam kategori sehat. Stasiun 303 menjadi lokasi dengan kondisi terbaik, ditandai dengan tutupan kanopi yang sangat rapat, sementara Stasiun 201 justru menunjukkan tingkat pencemaran sampah paling tinggi. Selain itu, data biomassa karbon dari daun, batang, dan bagian mangrove yang mati juga mencerminkan kapasitas besar ekosistem ini dalam menyimpan karbon dan mendukung fungsi ekologisnya.
Berbeda dengan lamun dan mangrove, kondisi terumbu karang di Sombano masih mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil pemetaan menggunakan metode Manta Tow, sebagian besar wilayah terumbu tercatat dalam kondisi buruk hingga sedang. Warna merah dan kuning mendominasi peta pengamatan, yang menunjukkan minimnya tutupan karang hidup dan tingginya tekanan terhadap habitat ini. Meski tidak difokuskan pada identifikasi spesies karang tertentu, data yang dikumpulkan memberikan gambaran umum tentang perlunya perhatian serius terhadap kelestarian terumbu karang di wilayah ini.
Ketiga ekosistem yang dipantau memiliki satu kesamaan yang menjadi sorotan utama, yaitu ancaman nyata dari sampah plastik dan penebangan pohon. Dalam presentasinya, Arman menegaskan bahwa kedua faktor ini menjadi tantangan besar dalam upaya menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir. Menurutnya, jika tidak segera ditangani, kerusakan yang lebih besar dapat terjadi dan mengancam kehidupan nelayan serta generasi mendatang.
Melalui sesi diskusi, berbagai gagasan dan solusi mulai muncul. Peserta sepakat bahwa langkah-langkah konkret perlu segera dilakukan. Beberapa usulan yang mengemuka di antaranya adalah konservasi wilayah-wilayah penting, penutupan sementara kawasan tangkap yang mengalami tekanan, serta pelaksanaan monitoring berkala, terutama di dua musim berbeda untuk lamun. Selain itu, pentingnya peningkatan kapasitas masyarakat lokal, khususnya kelompok nelayan seperti Popajumpa, menjadi perhatian agar warga mampu terlibat aktif dalam upaya pemantauan dan pengelolaan sumber daya alam.
La Calo, salah satu peserta diskusi, menyuarakan dukungannya terhadap pelatihan lanjutan yang dapat membantu masyarakat memahami dan membaca data ekosistem secara mandiri. Tanggapan positif juga datang dari peserta lainnya yang melihat bahwa kemampuan untuk membaca dan menginterpretasi data secara langsung akan menjadi modal penting dalam mendorong pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan dan berbasis pengetahuan lokal.