Mungkin, ketika mendengar kata nelayan, kebanyakan orang akan mengasosiasikannya sebagai pekerjaan laki-laki. Padahal siapa pun bisa jadi nelayan.
Dalam UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan pun tidak menyebutkan gender tertentu. Perempuan memiliki kedudukan yang sama, bahkan bisa menjadi aktor utama dalam pengelolaan perikanan.
Di Desa Darawa, puluhan rumah berdiri kokoh di atas batu gamping. Secara adat, Darawa berada di Limbo Kiwolu, Barata Kahedupa dan secara administrasi berada di Kecamatan Kaledupa Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Hampir di setiap rumah dilengkapi dengan para-para yang terbuat dari bambu atau papan untuk menjemur rumput laut. Desa ini memang terkenal sebagai penghasil rumput laut dan gurita terbanyak di kepulauan Kaledupa.
Pada 21 Oktober lalu, untuk keempat kalinya masyarakat Limbo Kiwolu, menyelenggarakan ritual pembukaan wilayah penangkapan gurita. Masyarakat sekitar menyebutnya Namo Nu Sara atau di Maluku Sasi Laut, yaitu penutupan sementara wilayah penangkapan gurita selama tiga bulan. Konservasi secara adat ini memberikan kesempatan untuk gurita berkembang biak dan bertumbuh.
Namo Nu Sara sebenarnya sudah ada sejak lama, namun terhenti saat Wakatobi menjadi Kabupaten di tahun 2003. Diterapkannya kembali ritual ini tidak muncul begitu saja.
Dayanti, salah satu perempuan di Limbo Kiwolu melakukan pencatatan hasil tangkapan gurita, sepanjang tahun 2016-2018. Mereka mengumpulkan data dari para pengepul yang didampingi LSM Lokal, Forkani dan didukung oleh Yayasan Pesisir Lestari. Dari data tersebut membuktikan apa yang menjadi keresahan masyarakat terkait semakin menurunnya jumlah gurita tangkapan.
“Data tersebut kemudian dimusyawarahkan untuk memahami kondisi gurita hingga menerapkan aturan buka-tutup Namo Nu Sara yang sudah berlangsung sejak 2018,” tutur Dayanti, Selasa 11/10.
Kepedulian Dayanti jadi cerminan sekaligus bukti betapa pentingnya pendataan dalam pengelolaan perikanan, sehingga bisa melakukan tindakan yang relevan dan efektif. Kini, pendataan bukan hanya untuk gurita, tapi juga rumput laut dan perikanan tangkap.
Perempuan juga memainkan banyak peran pra dan pasca penangkapan atau panen. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh WWF pada Januari lalu, rata-rata nelayan perempuan rumput laut di Kaledupa—di antaranya Desa Darawa, Tanomeha, Langge, Waduri, Balasuna Selatan dan Sombano—merupakan pemegang perekonomian keluarga. Sehingga menjadi penentu pemilihan alat dan bahan yang harus digunakan dalam kegiatan melaut. Itu sebabnya Namo Nu Sara jadi bisa diterapkan.
Para perempuan ini paham bahwa keputusan menjaga alam harus sejalan dengan menahan hasrat mengeksploitasi berlebihan. Sehingga menggunakan alat-alat yang ramah lingkungan jadi hal utama buat mereka.
Selain itu, di beberapa pasar perikanan seperti Mantigola dan Sampua Fatu, didominasi oleh istri-istri nelayan yang tengah menjajakan hasil tangkapan suaminya. Beberapa di antaranya seperti Mariaba menjual ikannya dengan berkeliling dari satu desa ke desa lain. Ketika dagangan tidak laku, maka dagangannya tersebut akan dibuat menjadi ikan asin agar tetap memiliki nilai jual dan tidak dibuang begitu saja.
Terkait pengolahan produk perikanan, terdapat 14 kelompok perempuan yang tersebar di beberapa desa di Kaledupa. Mereka sudah mengikuti berbagai macam pelatihan yang dilakukan baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Ada berbagai macam produk olahan, mulai dari abon, stik dan dodol rumput laut, ikan asap, kerupuk dan nugget ikan, bakso dan berbagai olahan lainnya.
Diversifikasi produk perikanan bukan hanya meminimalisir kerusakan hasil-hasil perikanan dan meningkatkan perekonomian, tetapi menjadi salah satu indikator penting dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Misalnya saja, pada 2017 harga rumput laut turun drastis, dari harga Rp 8.000 per kilo menjadi Rp1.000. Akibatnya rumput laut dibiarkan saja tergeletak di tanah dan di laut, serta banyak nelayan terlilit utang dan terpaksa merantau. Sayangnya saat itu pengolahan perikanan belum menjadi perhatian nelayan sehingga tidak ada penanganan pengembangan produk.
Di lain sisi, banyak perempuan juga terlibat dalam perikanan tangkap yang diyakini didominasi oleh laki-laki. Olu (63 tahun), Fa Dimba (55 tahun), Fanduli (57 tahun), ketiga perempuan tangguh dari Desa Darawa ini masih aktif menangkap gurita dan membudidayakan rumput laut. Sedari umur belasan tahun mereka sudah diwarisi keterampilan untuk menangkap, budidaya dan mengemudikan perahu.
“Te onitu nu mafi nai kami ana’e,” ucap Fa Dimba. Kami sudah jadi hantu lautan.
Hal ini menimbulkan gelak tawa di antara mereka dan beberapa masyarakat yang saat itu sedang menghadiri posyandu lansia di salah satu rumah warga, Selasa 11/10.
Perempuan menguasai segala aspek dalam kegiatan perikanan, mulai dari aspek biologi, lingkungan, ekonomi dan sosial. Keterlibatan perempuan ini tidak boleh dikesampingkan, apalagi dalam pengambilan keputusan perikanan yang berkelanjutan.
***
Produksi ini menjadi bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).