Sombano, 22 November 2024- Siang itu, pukul dua tepat, sekelompok orang berkumpul di sebuah desa pesisir paling ujung bagian barat Pulau Kaledupa, tepatnya di Desa Sombano. Peralatan monitoring mangrove—meteran kain, GPS, tali quadran, aplikasi pendukung di ponsel, hingga formulir data yang tersusun rapih dalam wadah penyimpanan. Di atas meja sederhana, termometer air, alat pengukur pH, dan refraktometer salinitas siap dibawa.
Langit kelabu menaungi mereka, angin laut bertiup lembut membawa aroma asin yang khas. Perjalanan dari desa menuju area mangrove memakan waktu 15 menit. Mereka menggunakan kendaraan roda dua untuk menuju area, dan harus melewati sedikit jalan tanah basah setelah hujan deras beberapa jam yang lalu
Sesampainya di lokasi, mereka langsung terbagi dalam dua tim. Kemudian menentukan jalur transek dengan membentuk persegi 10 x 10 meter menggunakan tali. Dimulai dari arah darat menuju laut. Namun, tak lama setelah pengukuran dimulai, gerimis turun. Kamera dan alat elektronik segera dilindungi dengan plastik.

Tim mulai dengan mencatat jenis mangrove yang tumbuh di sepanjang transek. Dengan panduan taksonomi, mereka mengidentifikasi spesies seperti Avicennia marina, Rhizophora apiculata, dan Bruguiera gymnorrhiza. “Ini jenis yang umum di sini, tapi kerapatan dan regenerasinya perlu dipastikan,” kata Ayiling, salah satu anggota tim.
Gerimis sempat berubah menjadi hujan deras, memaksa tim berteduh sebentar di bawah kanopi mangrove yang lebat. Ketika hujan mereda, mereka melanjutkan pengukuran diameter batang (DBH) menggunakan meteran, dan mencatat ukuran pohon.

Pengukuran tinggi pohon dilakukan menggunakan aplikasi MonMeng setelah hujan benar-benar reda. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata tinggi pohon mangrove lebih dari 20 meter. Memang mangrove di area ini dikenal dengan “mangrove purba” sehingga pohonya cukup tinggi dan besar.
Selain data vegetasi, tim juga mengukur suhu air menggunakan termometer, salinitas dengan refraktometer, dan pH air dengan alat khusus. Suhu terpantau sekitar 27°C, salinitas 15 ppt, dan pH 7,8. Semua hasil dicatat dengan teliti di formulir data yang ada dalam MonMeng.

“Salinitas di area ini cukup rendah, kemungkinan akibat dari pengaruh air hujan. Juga jarak area mangrove yang cukup jauh dari laut,” ujar Asti salah satu fasilitator pada pelatihan ini.
Jumlah anakan dan semai juga dihitung, untuk menilai regenerasi alami di area tersebut. Meski sebagian besar plot menunjukkan regenerasi yang baik, beberapa titik memiliki bibit yang jarang. Setiap sisi plot pengamatan diberi titik koordinat menggunakan GPS untuk memastikan lokasi bisa dipantau kembali di masa depan.

Saat matahari mulai merangkak turun dan cuaca kembali cerah, kedua tim bergabung dan melakukan transek terakhir secara bersamaan. Data yang terkumpul akan diolah untuk menghitung keanekaragaman, kerapatan pohon, dan rekomendasi rehabilitasi bagi area yang kritis.
“Kendala cuaca seperti tadi memang menguji kami, tapi ini bagian dari kerja lapangan,” ujar Zambo, salah satu anggota tim.
Kegiatan monitoring mangrove ini merupakan tindak lanjut dari pelatihan “Pentingnya Monitoring Tiga Ekosistem dan Pengelolaan Laut Berkelanjutan.”